Senin, Januari 21

Kesehatan Reproduksi Remaja

Kesehatan Reproduksi Remaja
Kesehatan Reproduksi Remaja
Kesehatan reproduksi adalah kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsinya serta prosesprosesnya. Oleh karena itu, kesehatan reproduksi berarti orang dapat mempunyai kehidupan seks yang memuaskan dan aman, dan bahwa mereka memiliki kemapuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk menentukan apakah mereka ingin melakukannya, bilamana dan seberapa seringkah. Termasuk terakhir ini adalah hak pria dan wanita untuk memperoleh informasi dan mempunyai akses terhadap cara - cara keluarga berencana yang aman, efektif dan terjangkau, pengaturan fertilitas yang tidak melawan hukum, hak memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan yang memungkinkan para wanita dengan selamat menjalani kehamilan dan melahirkan anak, dan memberikan kesempatan untuk memiliki bayi yang sehat.

Sejalan dengan itu pemeliharaan kesehatan reproduksi merupakan suatu kumpulan metode, teknik dan pelayanan yang mendukung kesehatan dan kesejahteraan reproduksi melalui pencegahan dan penyelesaian masalah kesehatan reproduksi. Ini juga mencakup kesehatan seksual, yang bertujuan meningkatkan status kehidupan dan hubungan-hubungan perorangan, dan bukan semata-mata konseling dan perawatan yang bertalian dengan reproduksi dan penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks.

Defenisi
Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecatatan, dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Reproductive health is a state of complete physical, mental and social welling and not merely the absence of disease or infirmity, in all matters relating to reproductive system and to its funtctions processes (WHO) Agar dapat melaksanakan fungsi reproduksi secara sehat, dalam pengertian fisik, mental maupun sosial, diperlukan beberapa prasyarat :

1. agar tidak ada kelainan anatomis dan fisiologis baik pada perempuan maupun laki-laki. Antara lain seorang perempuan harus memiliki rongga pinggul yang cukup besar untuk mempermudah kelahiran bayinya kelak. Ia juga harus memiliki kelenjar-kelenjar penghasil hormon yang mampu memproduksi hormon-horman yang diperlukan untuk memfasilitasi pertumbuhan fisik dan fungsi sistem dan organ reproduksinya. Perkembangan-perkembangan tersebut sudah berlangsung sejak usia yang sangat muda. Tulang pinggul berkembang sejak anak belum menginjak remaja dan berhenti ketika anak itu mencapai usia 18 tahun. Agar semua pertumbuhan itu berlangsung dengan baik, ia memerlukan makanan dengan mutu gizi yang baik dan seimbang. Hal ini juga berlaku bagi laki-laki. Seorang lakilaki memerlukan gizi yang baik agar dapat berkembang menjadi laki-laki dewasa yang sehat.

2. baik laki-laki maupun perempuan memerlukan landasan psikis yang memadai agar perkembangan emosinya berlangsung dengan baik. Hal ini harus dimulai sejak sejak anak-anak, bahkan sejak bayi.

3. setiap orang hendaknya terbebas dari kelainan atau penyakit yang baik langsung maupun tidak langsung mengenai organ reproduksinya. Setiap kelainan atau penyakit pada organ reproduksi, akan dapat pula menggangu kemampuan seseorang dalam menjalankan tugas reproduksinya. Termasuk disini adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual.

Ruang Lingkup Masalah Kesehatan Reproduksi
Isu-isu yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi kadang merupakan isu yang pelik dan sensitif, seperti hak-hak reproduksi, kesehatan seksual, penyakit menular seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS, kebutuhan khusus remaja, dan perluasan jangkauan pelayanan kelapisan masyarakat kurang manpu atau meraka yang tersisih. Karena proses reproduksi nyatanya terjadi terjadi melalui hubungan seksual, defenisi kesehatan reproduksi mencakup kesehatan seksual yang mengarah pada peningkatan kualitas hidup dan hubungan antar individu, jadi bukan hanya konseling dan pelayanan untuk proses reproduksi dan PMS. Dalam wawasan pengembagan kemanusiaan. Merumuskan pelayanan kesehatan reproduksi yang sangat penting mengingat dampaknya juga terasa pada kualitas hidup generasi berikutnya. Sejauh mana seseorang dapatmenjalankan fungsi dan proses reproduksinya secara aman dan sehat sesungguhnya tercermin dari kondisi kesehatan selama siklus kehidupannya, mulai dari saat konsepsi, masa anak, remaja, dewasa, hingga masa pasca usia reproduksi.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Reproduksi
Secara garis besar dapat dikelompokkan empat golongan faktor yang dapat berdampak buruk bagi keseshatan reproduksi:
a. Faktor sosial-ekonomi dan demografi (terutama kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual dan proses reproduksi, serta lokasi tempat tinggal yang terpencil).
b. Faktor budaya dan lingkungan (misalnya, praktek tradisional yang berdampak buruk pada kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak banyak rejeki, informasi tentang fungsi reproduksi yang membingungkan anak dan remaja karena saling berlawanan satu dengan yang lain, dsb).
c. Faktor psikologis (dampak pada keretakan orang tua pada remaja, depresi karena ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita terhadap pria yang membeli kebebasannya secara materi, dsb).
d. Faktor biologis (cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca penyakit menular seksual, dsb). Pengaruh dari semua faktor diatas dapat dikurangi dengan strategi intervensi yang tepat guna, terfokus pada penerapan hak reproduksi wanita dan pria dengan dukungan disemua tingkat administrasi, sehingga dapat diintegrasikan kedalam berbagai program kesehatan, pendidikan, sosial dam pelayanan non kesehatan lain yang terkait dalam pencegahan dan penanggulangan masalah kesehatan reproduksi.

Tujuan dan Sasaran Kesehatan Reproduksi
Tujuan Utama
Sehubungan dengan fakta bahwa fungsi dan proses reproduksi harus didahului oleh hubungan seksual, tujuan utama program kesehatan reproduksi adalah meningkatkan ksesadaran kemandiriaan wanita dalam mengatur fungsi dan proses reproduksinya, termasuk kehidupan seksualitasnya, sehingga hak-hak reproduksinya dapat terpenuhi, yang pada akhirnya menuju penimgkatan kualitas hidupnya.

Tujuan Khusus
Dari tujuan umum tersebut dapat dijabarkan empat tujuan khusus yaitu :
1. Meningkatnya kemandirian wanita dalam memutuskan peran dan fungsi reproduksinya.
2. meningkatnya hak dan tanggung jawab sosial wanita dalam menentukan kapan hamil, jumlah dan jarak kehamilan.
3. meningkatnya peran dan tanggung jawab sosial pria terhadap akibat dari perilaku seksual dan fertilitasnya kepada kesehatan dan kesejahteraan pasangan dan anak-anaknya.
4. dukungan yang menunjang wanita untuk menbuat keputusan yang berkaitan dengan proses reproduksi, berupa pengadaan informasi dan pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan untuk mencapai kesehatan reproduksi secara optimal.

Sasaran
Indonesia menyetujui ke -tujuh sasaran reproduksi WHO untuk masa 1993- 2001, karena masih dalam jangkauan sasaran Repelita VI, yaitu:
1. Penurunan 33% angka prevalensi anemia pada wanita (usia 15-49 tahun)
2. Penurunan angka kematian ibu hingga 59%;semua wanita hamil mendapatkan akses pelayanan prenatal, persalinan oleh tenaga terlatih dan kasus kehamilan resiko tinggi serta kegawatdaruratan kebidanan, dirujuk kekapasilitas kesehatan.
3. peningkatan jumlah wanita yang bebas dari kecacatan/gangguan sepanjang hidupnya sebesar 15% diseluruh lapisan masyarakat.
4. Penurunan proporsi bayi berat lahir rendah 
5. Pemberantasan tetanus neonatarum (angka insiden diharapkan kurang dari satu kasus per 1000 kelahiran hidup) disemua kabupaten.
6. Semua individu dan pasangan mendapatkan akses informasi dan pelayanan pencegahan kehamilan yang terlalu dini, terlalu dekat jaraknya, terlalu tua, dan telalu banyak.
7. Proporsi yang memanfaatkan pelayanan kesehatan dan pemeriksaan dan pengobatan PMS minimal mencapai 70% (WHO/SEARO,1995).

Pelayanan Kesehatan Reproduksi
Sesuai dengan rekomendasi strategi regional WHO untuk negara-negara anggota di Asia Tenggara, dua peket pelayanan kesehatan reproduksi telah dirumuskan oleh wakil-wakil sektor dan inter-program dalam beberapa pertemuan koordinasi pralokakarya nasional di Jakarta. Lima kelompok kerja telah sepakat untuk melaksankan pelayanan dasar berikut sebagai strategi intervensi nasional penanggulangan masalah kesehatan reproduksi di Indonesia.
Dengan kedua paket intervensi diatas, komponen intervensi pada kesehatan reproduksi di Indonesia menjadi lengkap, seperti terlihat dalam diagram berikut:

A. Paket Kesehatan Reproduksi Esensial
1. Kesejahteraan Ibu dan Bayi
2. Keluarga Berencana
3. Pencegahan dan penanganan ISR/PMS/HIV
4. Kesehatah Reproduksi Remaja

B. Paket Kesehatan Reproduksi Komprehensip
Pencegahan dan penanganan masalah usia lanjut, selain paket esensial diatas.
Keterangan :
* Paket pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (Paket PKRE)
** Paket pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif (Paket PKRK) PKRE terdiri dari:
1. Kesejahteraan Ibu dan bayi
2. Keluarga Berencana
3. Pencegahan dan penanganan ISR/PMS/HIV dan kemandulan
4. Kesehatan Reproduksi Remaja

PKRK terdiri dari :
PKRE+ Pelayanan dan Penanganan Masalah Usila Strategi kesehatan reproduksi menurut komponen pelayaanan kesehatan reproduksi komprehensif dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Komponen Kesejahteraan Ibu dan Anak
Peristiwa kehamilan, persalinan dan masa nifas merupakan kurun kehidupan wanita yang paling tinggi resikonya karena dapat membawa kematian, dan makna kematian seorang ibu bukan hanya satu anggota keluarga tetapi hilangnya kehidupan sebuah keluarga. Peran ibu sebagai wakil pimpinan rumah tangga sulit digantikan. Untuk mengurangi terjadinya kematian ibu karena kehamilan dan persalinan, harus dilakukaun pemantauan sejak dini agar dapat mengambil tindakan yang cepat dan tepat sebelum berlanjut pada keadaan kebidanan darurat. Upaya intervensi dapat berupa pelayanan ante natal, pelayanan persalinan/partus dan pelayanan postnatal atau masa nifas. Informasi yang akurat perlu diberikan atas ketidaktahuan bahwa hubungan seks yang dilakukan, akan mengakibatkan kehamilan, dan bahwa tanpa menggunakan kotrasepsi kehamilan yang tidak diinginkan bisa terjadi. Dengan demikian tidak perlu dilakukan pengguguran yang dapat mengancam jiwa.

2. Komponen Keluarga Berencana
Promosi KB dapat ditujukan pada upaya peningkatan kesejahteraan ibu sekaligus kesejahteraan keluarga. Calon suami-istri agar merencanakan hidup berkeluarga atas dasar cinta kasih, serta pertimbangan rasional tentang masa depan yang baik bagi kehidupan suami istri dan anak-anak mereka serta masyarakat. Keluarga berencana bukan hanya sebagai upaya/strategi kependudukan dalam menekan pertumbuhan penduduk agar sesuai dengan daya dukung lingkungan tetapi juga merupakan strategi bidang kesehatan dalam upaya peningkatan kesehatan ibu melalui pengaturan jarak dan jumlah kelahiran. Pelayanan yang berkualitas juga perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan pandangan klien atau pengguna pelayanan.

3. Komponen Pencegahan dan Penanganan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR), termasuk Penyakit Menular Seksual dan HIV/AIDS
Pencegahan dan penanganan infeksi ditujukan pada penyakit dan gangguan yang berdampak pada saluran reproduksi. Baik yang disebabkan penyakit infeksi yang non PMS. Seperti Tuberculosis, Malaria, Filariasis, dsb; maupun penyakit infeksi yang tergolong PMS (penyalit menular seksual), seperti gonorrhoea, sifilis, herpes genital, chlamydia, dsb; ataupun kondisi infeksi yang berakibat infeksi rongga panggul (pelvic inflammatory diseases/ PID) seperti alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), yang dapat berakibat seumur hidup pada wanita maupun pria, misalnya kemandulan, hal mana akan menurunkan kualitas hidupnya. Salah satu yang juga sangat mendesak saat ini adalah upaya pencegahan PMS yang fatal yaitu infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus).

4. Komponen Kesehatan Reproduksi Remaja
Upaya promosi dan pencegahan masalah kesehatan reproduksi juga perlu diarahkan pada masa remaja, dimana terjadi peralihan dari masa anak menjadi dewasa, dan perubahan-perubahan dari bentuk dan fungsi tubuh terjadi dalam waktu relatif cepat. Hal ini ditandai dengan berkembangnya tanda seks sekunder dan berkembangnya jasmani secara pesat, menyebabkan remaja secara fisik mampu melakukan fungsi proses reproduksi tetapi belum dapat mempertanggungjawabkan akibat dari proses reproduksi tersebut. Informasi dan penyuluhan, konseling dan pelayanan klinis perlu ditingkatkan untuk mengatasi masalah kesehatan reproduksi remaja ini.

5. Komponen Usia Lanjut
Melengkapi siklus kehidupan keluarga, komponen ini akan mempromosikan peningkatan kualitas penduduk usia lanjut pada saat menjelang dan setelah akhir kurun usia reproduksi (menopouse/adropause). Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui skrining keganansan organ reproduksi misalnya kan ker rahim pada wanita, kanker prostat pada pria serta pencegahan defesiensi hormonal dan akibatnya seperti kerapuhan tulang dan lain-lain. Hasil akhir yang diharapkan dai pelaksanaan kesehatan reproduksi yang dimodifikasikan dari rekomendasi WHO tersebut adalah peningkatan akses :
a. Informasi secara menyeluruh mengenai seksualitas dan reproduksi, masalah kesehatan reproduksi, manfaat dan resiko obat, alat, perawatan, tindakan intervensi, dan bagaimana kemampuan memilih dengan tepat sangat diperlukan.
b. Paket pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas yang menjawab kebutuhan wanita maupun pria.
c. Kontrasepsi (termasuk strerilisasi) yang aman dan efektif
d. Kehamilan dan persalinan yang direncanakan dan aman
e. Pencegahan dan penanganan tindakan pengguguran kandungan tida k aman.
f. Pencegahan dan penanganan sebab-sebab kemandulan (ISR/PMS).
g. Informasi secara menyeluruh termasuk dampak terhadap otot dan tulang, libido, dan perlunya skrining keganasan (kanker) organ reproduksi. Pengukuran perubahan-perubahan yang positif terhadap hasil akhir diatas akan menunjukkan kemajuan pencapaian tujuan akhir; pelayanan kesehatan dasar yang menjawab kebutuhan kesehatan reproduksi individu, suami-istri dan keluarga, hal mana menjadi dasar yang kokoh untuk mengatasi kesehatan reproduksi yang dihadapi seseorang dalam kurun siklus reproduksinya.

PENUTUP
Persoalan kesehatan reproduksi bukan hanya mencakup persoalan kesehatan reproduksi wanita secara sempit dengan mengaitkannya pada masalah seputar perempuan usia subur yang telah menikah, kehamilan dan persalinan, pendekatan baru dalam program kependudukan memperluas pemahaman persoalan kesehatan reproduksi. Dimana seluruh tingkatan hidup perempuan merupakan fokus persoalan kesehatan reproduksi.
Secara tematik, ada lima kelompok masalah yang diperhatikan dalam kesehatan reproduksi, yaitu kesehatan reproduksi itu sendiri, keluarga berencana, PMS dan pencegahan HIV/AIDS, seksualitas hubungan manusia dan hubungan gender, dan remaja. Secara lebih spesifik, berbagai masalah dalam kesehatan reproduksi adalah perawatan kehamilan, pertolongan persalinann, infertilitas, menopause, penggunann kontrasepsi, kehamilan tidak dikehendaki dan aborsi baik pada remaja maupun pasangan yang telah menikah, PMS dan HIV/AIDS (berkaitan dengan prostitusi, homoseksualitas, gaya hidup dan praktek tradisional), pelecehan dan kekerasan pada perempuan, pekosaan, dan layanan dan informasi pada remaja.

Berfungsinya sistem reproduksi wanita dipengaruhi oleh aspek-aspek dan proses-proses yang terkait pada setiap tahap dalam lingkungan hidup. Masa kanak-kanak, remaja pra -nikah, reprodukstif baik menikah maupun lajang, dan menopause akan dilalui oleh setiap perempuan, dan pada masa- masa tersebut akan terjadi perubahan dalam sistem reproduksi. Pada saat yang bersamaan dimungkinkan adanya faktor-faktor non klinis yang menyertai perubahan itu, seperti faktor sosial, faktor budaya dan faktor politik yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Berperannya berbagai faktor dalam kesehatan reproduksi ini selanjutnya menberikan pemahaman akan keterlibatan subjek atau pelaku, diluar kelompok perempuan itu sendiri.

Salah satu subjek terdekat dan langsung berkaitan dengan masalah reproduksi perempuan adalah kelompok laki-laki. Laki-laki dalam hal ini berperan penting sesuai dengan statusnya terhadap perempuan, baik sebagai suami, saudara, ayah, teman, atasan maupun critical person dalam penentuan kebijakan.

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar: