SURVEI terkini di delapan negara Asia melaporkan, 50 penduduk Asia gagal menurunkan kadar kolesterol jahat mereka sesuai target yang disarankan dalam panduan pengobatan. Di Indonesia, kegagalan ini bahkan mencapai 70 persen.
Rendang, gulai otak sapi, telur balado, tongseng kambing. Menumenu masakan Indonesia tersebut tak dimungkiri kelezatannya. Terbayang kenikmatan saat menyantapnya dengan nasi hangat mengepul. Hmm...sedap! Namun, hasrat menyantap hidangan berprotein hewani tersebut acapkali dibayangi risiko kenaikan kolesterol. Kuning telur, otak sapi, daging sapi Australia, daging kambing dan udang adalah sederetan produk hewani yang jika dikonsumsi berlebih dapat meningkatkan risiko tersebut.
Kolesterol sejatinya merupakan zat di dalam tubuh yang berguna untuk membantu pembentukan dinding sel, garam empedu, hormon, dan vitamin D serta sebagai penghasil energi. Sumber utamanya berasal dari organ hati (sekitar 70 persen) dan sisanya bersumber dari makanan yang masuk ke dalam tubuh. Kolesterol dalam kadar normal jelas berdampak positif bagi tubuh. Namun, bila sudah melewati batas, maka dampak negatif yang akan timbul, terutama dalam jangka panjang.
Kita mengenal dua jenis kolesterol, yaitu HDL (High Density Lipoprotein) alias kolesterol baik dan LDL (Low Density Lipoprotein) yang dikenal sebagai kolesterol jahat. Kadar HDL yang tinggi dalam darah (sekitar 40 mg/dL atau lebih) baik untuk kesehatan.
Sebaliknya, kadar LDL yang tinggi (100 mg/dL atau lebih) merupakan pertanda buruk. Penumpukan LDL pada dinding pembuluh darah dapat menyebabkan pengerasan dinding pembuluh darah (aterosklerosis) dan menyumbat aliran darah yang bisa berakibat fatal.
Riset secara luas telah menunjukkan bahwa LDL-C (kolesterol jahat) adalah faktor risiko utama penyakit jantung dan pembuluh darah ( cardiovascular disease/ CVD). Padahal, hingga kini CVD masih merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia, dengan angka kematian 17 juta orang per tahun. Angka ini diperkirakan meningkat menjadi 20 juta pada 2015 dan 23 juta pada 2030. Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar 2007 juga melaporkan bahwa stroke, hipertensi dan penyakit jantung iskemik menempati proporsi terbesar (27,3 persen) penyebab kematian semua umur.
Ahli jantung, DR Djoko Maryono DSPD DSJP FIHA FASE, mengungkapkan, penyebab utama penyakit jantung dan stroke di Asia Pasifik adalah konsumsi gula dan lemak terlalu banyak, malas bergerak, dan paparan polusi berlebih serta radikal bebas. Hal ini diperparah dengan kebiasaan manusia jaman sekarang yang serba praktis sehingga cenderung tidak aktif.
"Kalau manusia jaman dulu fisiknya jauh lebih aktif, massa otot lebih besar, kolesterol baiknya tinggi (lebih dari 70 mg/dL) dan kolesterol jahatnya rendah (kurang dari 100 mg/dL). Sehingga kondisi jantung dan pembuluh darah juga cenderung bagus," tutur Djoko dalam simposium awam yang diselenggarakan PT AstraZeneca bekerja sama dengan Yayasan Jantung Indonesia di Jakarta, Senin (16/11).
Upaya menekan angka kematian akibat CVD ditempuh melalui penanganan tepat, yang meliputi diet (pengaturan makan), olahraga terukur dan obat. Selain menurunkan kadar kolesterol, pengobatan dapat mencegah serangan jantung atau stroke yang dipicu pecahnya bisul pembuluh darah, juga mencegah terbentuknya bisul pada pembuluh darah baru.
Pasien Kurang Patuh
Tingginya kadar LDL seseorang menempatkan orang tersebut sebagai golongan berisiko tinggi CVD. Salah satu upaya terapi yang ditempuh adalah menurunkan kadar LDL. Uji klinik mengungkapkan bahwa terapi penurunan LDL, khususnya menggunakan terapi statin, dapat menurunkan risiko CVD.
Sayangnya, pencapaian target kolesterol LDL sesuai anjuran nampaknya masih menjadi tantangan bagi para dokter dan pasien. Sebuah survei terbaru yang diikuti lebih dari 7.000 pasien dan dokter di delapan negara Asia mengungkapkan bahwa 50 persen pasien gagal mencapai target pengobatan LDL sesuai kadar yang disarankan. Selain itu, lebih dari 60 persen pasien yang didiagnosa oleh dokter pertama kali tidak mengalami perubahan pengobatan.
Dalam survei yang dikenal dengan CEPHEUS1 (CEntralised Pan-Asian Survei on tHE Undertreatment of hypercholeSterolemia) itu, Indonesia juga mengikutsertakan sekitar 800 pasien dan dokter. Hasilnya, hanya 31,3 persen pasien di Indonesia yang berhasil mencapai target penurunan kolesterol.
Sisanya sebesar 68,7 persen dinyatakan gagal menurunkan tingkat kolesterol sesuai harapan. Angka pencapaian Indonesia merupakan yang terendah dibanding negara Asia lainnya yang turut disurvey, yakni Vietnam, Taiwan, Thailand, Filipina, Malaysia, Korea, Hong Kong.
Dr M Munawar SpJP selaku koordinator nasional dari Indonesia, mengungkapkan beberapa penyebab kegagalan tersebut. Yang paling mencolok adalah kurangnya tingkat kepatuhan pasien yang menjalankan terapi penurunan LDL.
"Penyebabnya beragam. Mungkin pasiennya yang lupa minum obat, atau bisa jadi juga dokternya yang kurang paham. Misalnya bahwa obat kolesterol ini kan harus diminum tiap hari, dan kalau ternyata pasien tidak cocok dengan suatu obat seharusnya diubah. Caranya bisa diganti, dinaikkan dosisnya atau mungkin dikombinasikan dengan obat lain," beber Munawar.
Pernyataan Munawar sejalan dengan hasil survei ini yang menyebutkan 1 dari 4 pasien meyakini bahwa lupa mengkonsumsi satu dosis obat dalam jangka waktu satu minggu atau lebih, tidak akan memengaruhi tingkat kolesterol.
Berbicara di acara Pertemuan Puncak Cardiovascular tingkat Asia Pasifik di Beijing belum lama ini, koordinator investigator Internasional CEPHEUS di Asia Dr Jeong Euy Park, mengatakan bahwa CEPHEUS menghasilkan temuan penting terkait tatalaksana hiperkolesterolemia.
"Telah banyak bukti yang menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat kolesterol, semakin baik dalam menurunkan risiko penyakit. Apalagi jika disertai perubahan gaya hidup, akan semakin menurunkan risiko terkena serangan jantung atau stroke," ujar Park.
Walaupun korelasi antara tingginya kadar kolesterol LDL dengan penyakit jantung koroner dan stroke sudah terbukti, survei ini memberikan informasi bahwa penegakan diagnosis, monitoring dan tingkat kepatuhan pengobatan sebagai upaya untuk menurunkan salah satu faktor risiko CVD terpenting yaitu hiperkolesterol, masih jauh dari memuaskan.
Artikel Terkait:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar